Saturday 15 October 2011

Lomba Mengarang Cerita Pendek 2011.

Setelah sekian lama gue menunggu tanggal 15 Oktober 2011, karena hari ini adalah hari di umumkannya pemenang Lomba Cerita Pendek 2011 yang di adain Rohto. Gue sih yakinnya menang, tapi ternyata nggak. Hahaha. Gue merasa semua harapan yang gue tunggu hasilnya di bulan Oktober 2011 kali ini semuanya MENGECEWAKAN!!! Nggak ada harapan gue yang kayanya jadi kenyataan. What the hell'lah yah kalo kata si Avril Lavigne mah! Dari pada gue bersedih-sedih, gue pikir mending gue publish deh cerita pendek bikinan gue yang sederhana, memukau, dan tiada bandingannya ini. Jujur, gue sih berfikir, toh dulu J.K. Rowling, penulis Harry Potter yang terkenal sejagad raya itu ajah pernah di tolak beratus kali sama penerbit, dan kenapa gue harus menyerah saat KALAH ikutan LOMBA???? #gondogloh. Sekecewa-kecewanya gue, gue mencoba berfikir positif, walo sebenernya gue pengen nangis gogoakan, tapi apakah adil kalo gue bilang gini sama Tuhan? "TUHAN, koo gue kecewa lagi sih? Kooo takdir yang Tuhan kasih ke gue begini sih?" Rasanya gue nggak tahu malu banget gituh yah, udah enak di kasih idup gratis, masih nuntut yang aneh-aneh! Thanks God! gue masih berfikir secara waras, di tengah bertubi-tubinya kekecewaan yang gue alami.

Ini nih Cerita Pendek karangan gue.


Ayah Dan Ibu Menunggu Diruang Tamu

Air menari-nari di atas permukaan tanah. Mereka beringsutan jatuh ke bumi tanpa rasa sakit. Sudah satu jam, mereka masih saja turun seakan terus berkembang biak. Makin lama, makin deras. Aku melirik jam tangan putih yang hampir cokelat, hadiah dari Ayah dan Ibu. “Pasti mereka sedang menungguku di ruang tamu!” begitu kata-kata yang hinggap di otakku. Tak lama, kuputuskan untuk berjalan di bawah hujan. Kakiku menyentuh genangan-genangan air, sementara kepalaku terguyur air dari langit. Badanku basah kuyup.
“Ayah, Ibu, Aku pulang!” aku tiba di rumah dengan menggigil. Tak ada jawaban, aku masuk ke dalam rumah. Terlihat Ayah dan Ibu di ruang tamu, mereka menyambutku dengan senyuman yang mungkin berarti “Kenapa baru pulang? Atau kenapa tidak menunggu hujan berhenti?” lalu aku tersenyum pada mereka. Mereka terus memandangiku, akupun masuk ke kamar. Sebenarnya sudah hampir satu bulan, aku tak pernah mengobrol dengan Ayah dan Ibuku.
Agak sedih mengingat itu. Aku mengganti baju, merebahkan badan, dan beristirahat. Besok adalah hari yang berat. Setelah tadi, sebelum hujan turun. Ada seorang laki-laki yang kusuka, memintaku untuk menjalin hubungan lebih dari teman. Rosyid, namanya. Aku membayangkan, bagaimana jika aku mengiyakan permintaannya? Dan bagaimana jika tidak? Sementara bayang-bayang yang selama ini ku coba lupakan justru muncul. Suaranya, Sikapnya, Semua tentangnya. Toni. Laki-laki yang satu bulan lalu meninggalkanku, membiarkan aku terpuruk dalam hidup yang tak menentu, meninggalkan aku yang sampai saat ini tak bicara pada Ayah dan Ibu, Karena dia.

***

“Selvya? Kenapa kamu? Nggak enak badan?” suara lembut guru Bahasa Indonesia menyambar bagai kilat di tengah rasa sakit kepalaku. Aku mengangguk.
“Gara-gara kemaren ujan-ujanan yah?” ucap Livia, teman sebangkuku.
“Livi, kamu antar Selvya ke UKS yah!” perintah Bu Eni segera dilakukan Livia. Dengan tergopoh-gopoh aku berjalan, mungkin aku terkena demam, semalam aku lupa makan, dan tadipun lupa sarapan.
“Thanks yah Liv!” ucapku saat Livia membantuku untuk tidur di ranjang UKS.
“Iya sama-sama.. Sel, kenapa sih sejak sebulan kemaren, kamu jarang banget curhat sama aku? Kamu udah nggak nganggep aku temen kamu lagi yah? Walo aku nggak ngalamin apa yang kamu alamin, aku bisa ngerti koo, Sel..” Livia duduk di atas ranjang yang kutiduri. Aku hanya memandangnya. Aku tahu Livia teman terbaikku, kami berkawan sejak 2 tahun lalu, saat kami baru memasuki SMU ini. Namun permasalahan dengan Ayah dan Ibu tak mungkin aku ceritakan.
“Eumm.. Aku emang nggak kenapa-kenapa liv.. Oiah tau nggak? Kemaren ada sesuatu looh!” aku berniat menceritakan tentang Rosyid saja pada Livia, agar ia tetap merasa bahwa aku masih menganggapnya Teman baik.
“Wah apaan tuh?” mata Livia berbinar-binar.
“Rosyid, liv!” sebelum aku sempat bercerita, Livia sepertinya sudah mengerti. Dan saat aku hendak melanjutkan cerita itu, ada siswa lain masuk. Rosyid!

***

“Akhirnya jadian juga kan kalian, hehehehe” pagi-pagi sekali aku datang ke Sekolah, di sambut Livia yang mengejekku, aku merasa senang. Senyum-senyum kecil seolah tak ingin pergi dari wajahku.
“Dia nganterin kamu pulang kan kemaren?” Livia bicara dengan penuh selidik. Aku menggeleng.
“Loh? Koo nggak?” Livia terlihat sangat penasaran.
“Eummm… kamu tahu kan Ayah dan Ibu… Aku Cuma nggak mau nanti Ayah dan Ibu nganggep Rosyid..” aku belum sempat menyelesaikan kata-kataku. Livia sudah menyambar.
“Tiap cowok tuh beda-beda Sel, nggak semuanya sama, aku yakin kooo Ayah dan Ibu kamu pasti setuju sama Rosyid, dia tuh pinter, anak Osis, Ibu bapaknya juga keluarga baek-baek kooo….” Cerocosan Livia memang benar. Tapi bukan itu masalahnya, aku takut Rosyid meninggalkanku, seperti Toni. Rasanya terlalu cepat aku menggantikan Toni dengan sosok Rosyid.
“Kamu nggak tau gimana rasanya di tinggalin Liv…” Wajahku yang tadi dipenuhi senyuman, berubah menjadi layu. Ada gurat-gurat kesedihan yang terlukis. Livia memandangku dengan Iba. Ia mendekapku, mengelus-elus pundakku. Air mata keluar begitu saja, aku merasa di peluk Ibuku.
“Kamu sendirian, Sel… aku ada disini!” Livia membuatku makin mencucurkan air mata. Aku terharu. Sangat.
***

“Aku harus pulang Ro..” aku bangkit dari dudukku, menepis Rosyid yang sedikit lagi hampir mengecup keningku. Hari ini, tepat 2 bulan aku dan Rosyid menjalin hubungan lebih dari teman.
“Pasti karena Ayah dan Ibu kamu nunggu di ruang tamu!” terlihat Rosyid agak kesal, sorot matanya menyiratkan ia bosan dengan alasanku. Selama menjalin hubungan dengannya, saat berduaan sepulang sekolah, aku selalu ingin cepat pulang, karena aku ingat pada Ayah dan Ibu yang pasti sedang menungguku di ruang tamu.
“Sel, aku pengen kita pacaran normal.. Kenapa sih? Aku mau koo nganterin kamu pulang, ketemu sama Ayah dan Ibu kamu.. Tapi kenapa kamu kayanya nyembunyiin hubungan kita sama mereka?” Rosyid salah sangka padaku. Aku selalu bercerita pada Ayah dan Ibu di ruang tamu tentang hubunganku dengannya.
“Mereka tau hubungan kita koo Ro.. Cuma..” aku tak bisa meneruskan perkataanku, karena akupun tak tahu alasannya. Mengapa aku selalu menjadikan alasan Ayah dan Ibu menungguku di ruang tamu agar terhindar dari Rosyid?
“Cuma apa?” Rosyid meraih tanganku. Menggenggamnya.
“Cuma.. Cuma aku takut mereka menyangka kamu yang membuat aku sering telat pulang ke rumah.. Emang aku jalan sama kamu, tapi aku nggak mau kamu jadi jelek di mata Ayah dan Ibu..” sepertinya aku berbohong.
“Sel, karena itu, ajak aku ketemu sama mereka!”. Perkataan Rosyid membuatku bingung. “Apa harus aku mempertemukan Rosyid dengan Ayah dan Ibu?”.

***
           
Esoknya aku bercerita pada Livia mengenai Rosyid yang ingin bertemu Ayah dan Ibu. Wajah Livia seperti panik dan kebingungan.
“Lebih cepat lebih baik, Sel!” ucapan Livia berarti mengiyakan permintaan Rosyid.
“Tapi Liv, apa Rosyid nggak akan marah?” Tanyaku penuh keraguan.
“Makin lama, dia bakal makin marah..” Jawaban Livia membuatku makin bingung.

***

“Ayah.. Ibu.. Aku mesti gimana?” aku menatap Ayah dan Ibu dengan penuh bimbang. Mereka hanya tersenyum. Tadi, sepulang sekolah aku dan Rosyid bertengkar hebat di rumah Rosyid. Rosyid memintaku untuk menginap di rumahnya karena Ayah dan Ibunya pergi keluar kota, dirumahnya ada kakak perempuan Rosyid. Ia bilang agar aku dan kakaknya akrab. Namun aku menolak. Rosyid memaksaku, bahkan ia bersedia memintakan izin pada Ayah dan Ibu agar bisa menginap di rumahnya. Aku tetap menolaknya. Dan dengan cepat lari untuk pulang kerumah. Kini, dengan berderai air mata karena tidak tahu harus bagaimana aku menceritakan semuanya pada Ayah dan Ibu.
“Apa Rosyid itu bukan laki-laki yang baik, Bu?” tanyaku dengan mata merah. Terlalu banyak air mata yang keluar dari mataku. Ibu terdiam, hanya tersenyum. Seakan mengerti keadaanku.
“Ayah setuju jika anak Ayah ini di cium dan di peluk olehnya?” wajah Ayah yang bijaksana menyiratkan banyak asumsi. Aku terdiam. Lalu menangis.
“Ayah, Ibu.. Aku ingat, tiga bulan lalu.. Saat Aku masih mencintai Toni.. Saat aku tak ingat pada Ayah dan Ibu yang menungguku pulang disini.. Aku malah asyik pergi dengan Toni tanpa kabar, bahkan sampai larut malam.. Aku tak ingat pada Ayah dan Ibu, hingga aku rela.. Aku rela menyerahkan semuanya..” aku menangis makin tersedu-sedu. Mengingat semuanya seperti di hempaskan dari langit ketujuh, lalu masuk ke palung paling dalam di bumi ini. Aku duduk dilantai, menatap ke arah Ayah dan Ibu.
“Ayah.. Ibu, apa kalian memaafkanku? Apa kalian masih menganggapku anak kalian? Bahkan sampai detik ini Ayah dan Ibu tak pernah bicara padaku.. Aku minta maaf.. Karena Aku sudah melakukan kesalahan yang paling besar.. Membiarkan Ayah dan Ibu menunggu di ruang tamu ini..” aku benar-benar tak tahu harus bagaimana lagi untuk membuktikan pada Ayah dan Ibu bahwa aku sangat menyesal. Kejadian 3 bulan lalu, bukan hanya membuatku kehilangan harga diri, tapi juga aku merasa Ayah dan Ibu yang sangat mencintaiku.
“Jadi gara-gara ini kamu kayak gitu sama aku, Sel?” suara Rosyid membuatku hampir loncat tak percaya.
“Ro..” aku belum sempat menjelaskan apa-apa, Rosyid tiba-tiba mendekapku. Aku mencoba melepaskannya.
“Sel, aku nggak akan kaya Toni.. Kenapa nggak cerita sama aku, Sel?” aku masih mencoba melepas pelukan Rosyid. Ia makin mendekapku. Ayah dan Ibu melihat ke arahku yang tak nyaman di peluk Rosyid. Rosyid tak peduli, ia mencoba membuatku nyaman di pelukannya.
“Ro.. Kamu perlu denger penjelasan aku..”
“Nggak perlu, Sel.. Aku ngerti keadaan kamu.. Kenapa kamu nggak cerita sama aku? Aku nggak akan ninggalin kamu, Sel...”
Aku mulai nyaman di pelukan Rosyid. Ia membelaiku. Aku menangis di pundaknya, rasanya seperti di peluk Ayah. Agak lama, selesai aku merasa bebanku berkurang, aku berhenti menangis. Aku menatap Ayah dan Ibu dengan takut.
“Aku udah denger cerita dari Livia, dia cerita sama aku tentang semuanya, Toni,.. masalah kamu, Ayah dan Ibu kamu…” Rosyid membawaku bangkit, menuntunku duduk di kursi. “Apa ia juga akan membawaku bangkit dari keterpurukanku?” kemudian Rosyid menggenggam tanganku, erat sekali.
“Aku yakin, mereka juga setuju sama hubungan kita..” ucap Rosyid sembari menatap Ayah dan Ibu. Ayah dan Ibu tersenyum. Diruang tamu, aku mulai percaya pada Rosyid. Aku berjanji akan berbagi semua cerita padanya. Rosyid pun berjanji akan menjagaku di hadapan Ayah dan Ibu yang masih tersenyum, senyum yang manis. Berbeda dengan hari itu, pikiranku melayang ke tiga bulan yang lalu, saat aku pulang dengan keadaan yang sangat buruk. Ayah dan Ibu menungguku pulang di ruang tamu ini, rencananya hari itu Ayah dan Ibu akan mengajakku pergi ke rumah sepupuku di Blitar. Namun aku menghancurkan semuanya, bukan hanya rencana pergi ke Blitar, tapi juga harapan Ayah dan Ibu. Anak semata wayang mereka, jatuh pada laki-laki yang kemudian mencampakannya. Ayah dan Ibu menatapku penuh amarah, antara kesal dan kasihan.
“Ayah… Ibu… Aku minta maaf…” ucapku penuh rasa bersalah. Ayah yang biasanya mengerti akan semua tingkah lakuku, saat itu sangat marah, Ia malah ingin melayangkan tamparan ke wajahku, tentu saja Ibu menghalanginya. Saat itu tatapan Ayah sangat mengerikan, kemudian Ia pergi dari rumah, Ibu menyusulnya terburu-buru. Aku hanya terdiam di ruang tamu. Entah apa yang harus kulakukan. Tak lama ada yang datang, bukan Ayah dan Ibuku, mereka para tetanggaku. Mengantarkan Ayah dan Ibu, yang baru saja meninggalkan dunia. Ayah membawa mobil terlalu cepat dengan penuh amarah, dan Ibu mengejarnya, saat itu Ibu tertabrak oleh motor di belakangnya, lalu Ayahpun berhenti mendadak saat melihat Ibu yang tergeletak di jalan, hingga menyebabkan kecelakaan beruntun. Aku tak tahu harus bagaimana saat itu. Para tetangga merumorkan bahwa Ayah dan Ibu bertengkar, karena itu mereka mengalami kecelakaan. Tak ada yang tahu bahwa akulah penyebab segalanya. Bahkan Livia, sahabatku pun tidak mengetahuinya.
“Nggak usah mikirin yang udah terjadi Sel…. Aku bakal ngejaga kamu, aku janji!” aku hanya mengangguk. Rosyid menatapku. Menghapus air mataku dengan tangannya. Ia mengeluarkan sebotol Rohto. Mencoba meneteskannya di mataku, aku tersenyum geli karena tingkah Rosyid, bagaima ia sempat membawa obat tetes mata?
“Kamu lebih cantik kalau kamu senyum, dan aku lebih suka liat mata kamu yang bening dengan binar-binar kebahagiaan, bukan merah karena sedih kayak gini… Ayah, Ibu kamu juga pasti pengennya gitu Sel…” Aku atahu Rosyid berusaha menghiburku. Walau kata-katanya terdengar biasa, tapi aku sangat terhibur. Bahagia sepertinya. Apakah Ayah dan Ibu ikut berbahagia? Aku menatap Ayah dan Ibu yang masih tersenyum, mereka terlihat bahagia, senyuman mereka manis, sangat manis. Terbingkai dalam foto yang tergantung di ruang tamu. Ruang tamu, saat Ayah dan Ibu menunggu, saat Aku dan Rosyid berjanji. ***



Ahahaha, ceritanya klasik banget yah? Pantesan ajah gue kalah! Orang Indonesia'kan hebat-hebat, jadi gue harap pare pemenang lomba itu emang karangannya lebih bagus dari gue. (Terkesan tak rela yah gue :P)
Ini cerita gue, semoga someday, gue bisa ngarang yang lebih bagus lagi, langsung ngarang Buku best seller mungkin, hahahahahahahahahah. Sekian. :D

1 comment: