Tuesday 27 October 2015

Teatrikal Asap - Dendam Tak Akan Padam

"Gimana? Berhasil?" Suara dari seberang terdengar sangat penasaran. Seorang wanita yang sedang terhubung dengan pria melalui telepon tersenyum.
"Tentu saja.. Ini pekerjaan mudah.. Saya sudah akan berangkat ke negara sebelah.."
"Kamu yakin kan tidak ada yang mencurigai?"
"Tentu saja tidak, tapi dalam waktu lima jam, jika semua transaksi belum selesai, saya rasa semua ini akan cepat terungkap.." wanita berbibir tipis dengan sapuan lipstik merah tua memutuskan sambungan telepon. Ia berjalan membawa kopernya menuju gate penerbangan yang akan ia tuju. Tertulis ditiket yang diserahkan pada petugas, Singapura. 

***

Sudah beberapa bulan kasus kabut asap terus terjadi di Indonesia, alasan utamanya adalah kebakaran hutan. Konon kebakaran ini disebabkan pembakaran liar. Desas desus yang beredar, banyak perusahaan yang memangkas biaya pemerataan lahan dengan cara membakarnya. Dan hasilnya justru kerugian negara makin besar. Mulai dari penerbangan yang kerap delay, sampai pada kesehatan masyarakat yang menjadi tumbal. Bahkan sudah ada korban jiwa dari kasus kabut asap tahun ini. Pelakunya masih belum teridentifikasi, entah memang sengaja tidak dicari.

"Bosen deh gue harus tiap hari ngeliput kabut asap melulu.." Tria, seorang crew stasiun televisi swasta kini sudah bersiap-siap on air untuk memberitakan kejadian kabut asap di Palangkaraya.
"Loe aja yang laporin beritanya bosen, gimana yang ngirup asepnya tiap hari coba?" Deki, menyiapkan kameranya. Dalam beberapa menit mereka berdua melaporan kejadian kabut asap. Laporannya hanya berisi cerita penderitaan yang didapati oleh masyarakat sekitar, tanpa ada jalan keluar. Ya, yang datang hanyalah bantuan masker, dan makanan. Namun sebenarnya yang mereka perlukan adalah oksigen, udara yang bersih. Bukan sebuah bantuan untuk pencitraan. Bonusnya adalah jika para pelaku berhasil ditangkap serta dibuat jera agar tak ada lagi kejadian serupa.

***

Disebuah gudang yang berada di tengah kota Palangkaraya.
"Asapnya sudah sampai mana?" seorang pria di depan laptop memperhatikan peta dengan seksama. Dalam layar monitor terdapat kode-kode html dan beberapa program yang sulit diartikan.
"Entahlah, katanya sih Malaysia dan Singapura sudah kena.." pria berambut panjang dan lurus memainkan kartu sambil terus melirik jam ditangannya.
"Apa sudah ada kabar dari Malang?" seorang wanita muda masuk kedalam ruangan sambil membawa baki berisi makanan.
"Bagaimana Key?" ucap pria berambut lurus melirik ke arah pria yang masih berkutat dengan laptop. Pria yang disebut Key tersebut mengangkat kedua bahunya.
"Kita tunggu sampai jam satu siang ini. Kalau masih belum ada kabar, sebaiknya kita segera lapor polisi.." Key meregangkan kedua tangannya keatas, lalu bangkit dari kursinya menghampiri baki makanan yang dibawa oleh wanita muda tadi.
"Ini bukan buatmu key! Kalau mau, pesan sendiri sajalah.." wanita berambut ikal itu mengambil bakinya, menikmati sepiring nasi dan sop ikan dengan wajah yang girang. Key menggerenyitkan dahinya, lalu keluar dari gudang. Key menelepon restoran yang tak jauh dari gudang tempatnya berada. Memesan menu makan siang, sementara jam dipergelangan tanggannya sudah menunjukan pukul duabelas lebih duapuluh lima menit.

***

Demo melawan asap sudah merambah diberbagai daerah. Bukan hanya di social media yang ramai dengan hashtag #MelawanAsap, di beberapa kota juga rutin diadakan shalat untuk meminta hujan. Indonesia ini negara yang hebat. Penuh rasa persaudaraan dan empati yang besar, hanya saja terkadang mudah tersulut amarah oleh provokasi murahan. Dan yang pasti karena keserakahan beberapa oknum, negara ini bahkan digadaikan. 
"Saya rasa Anda sudah tahu dengan jelas dimana saya berada. Tapi beberapa rekan saya masih ada di Indonesia... Dan, apa perlu kita lihat dulu apa yang akan terjadi setelah kita memulai teatrikal asap?" wanita berlipstik merah menatap lautan dari balik jendela kamarnya.
"Oiah, satu lagi Pak Gubernur.. Kalau penyakit yang ditularkan oleh asap tersebut sampai ke Malaysia dan Singapura, apakah kira-kira mereka akan menganggap Indonesia sedang memulai perang?" Wanita itu terkekeh.
"Baiklah, mari kita bernegosiasi! Apa saja keinginannmu?"Terdengar suara panik dari seberang telepon itu. Wanita itu tersenyum puas.
"Jam satu lebih duapuluh menit, temui rekan saya di Tugu Soekarno. Anda boleh membawa pasukan, tapi yang jelas rekan saya sudah mempersiapkan asap dan virus yang akan meledak kapan saja ketika Anda mulai beraksi macam-macam." Klerk. Telepon terputus.

***
Key sedang menikmati sup ikan dengan hikmat, teleponnya berdering. Dengan segera Key mengangkatnya.
"Mereka sepakat jam satu lebih duapuluh bersiap-siaplah di Tugu Soekarno." Telepon terputus. Key melanjutkan makannya yang hanya dua huapan lagi, lalu menoleh pada jam ditangannya. Masih pukul satu lebih lima menit. "Jam satu lebih duapuluh stay di tugu guys!" ucap Key pada wanita dan pria yang sedang asik bermain kartu. Mereka berdua menganggukan kepala, lalu membereskan kartunya.
"Apa yang akan kita pinta Key?" tanya wanita berambut ikal.
"Bebas.. Kamu maunya apa, Ein?"
"Pulau pribadi?" wanita yang dipanggil Ein tersenyum senang.
"Kalau kamu Jay?"
Pria berambut lurus hanya tersenyum. "Kita lihat saja nanti!". Key, Ein, dan Jay mempersiapkan beberapa senjata dan sebuah tabung khusus. Dengan sebuah mobil hitam mereka menuju ke Tugu Soekarno.

***

Sebuah gubuk terbakar. Apinya sampai ke atas, tak ada yang peduli dengan terbakarnya gubuk tersebut. Seakan gubuk itu adalah sampah yang sengaja dibakar. Sementara seorang anak kecil menangis, menarik beberapa orang yang ada disekitar gubuk untuk membantunya memadamkan api. Namun tak ada yang peduli. Anak itu menyerah, ia menangis lunglai didepan gubuk yang sudah habis setengah, sampai akhirnya api padam karena hujan. Sayangnya hujan datang terlambat, tak ada barang yang bisa diselamatkan. Bahkan satu-satunya peninggalan dari Ibunyapun ikut terbakar, sebuah topi bergambar garuda. Lambang negara Indonesia.

"Key!" Key terbangun dari lamunannya. Anak kecil yang kehilangan rumah gubuknya duabelas tahun yang lalu adalah Key. Key yang kini membantu Malang membakar hutan. Ia tak peduli pada korban asap yang ditimbulkan dari pembakaran yang ia lakukan, yang Key tahu adalah bagaimana rasanya kehilangan harta paling berharga dan tak ada yang mau membantunya. Andai saja saat itu para tetangga mau membantu Key untuk mematikan api yang menjilati gubuknya. Tapi sekarang itu semua sudah tak perlu lagi diharapkan, Key sudah memutuskan untuk menghancurkan kota tempat tinggalnya. Key sudah bertekad, dendam tak akan pernah padam.

Bersambung...

Tulisan ini dipersembahkan untuk #SpecialBlogWalking #BloggerMuslimah 




2 comments: